DISKRIMINASI KAUM MINORITAS DALAM SEMBOYAN ‘PERSATUAN’
Diskriminasi
masih menjadi persoalan hangat di negeri persatuan ini. Kebersamaan dalam
cita-cita gotong-royong dan Bhinneka Tunggal
Ika yang telah lama menjadi semboyan kita,
kian terlupakan karena persoalan ini. Memang, diskriminasi hanya sebush lubang kecil dibandingkan persoalan politik maupun
ekonomi
yang dihadapi saat ini, namun bila
lubang kecil itu terus menyebar akan membuat seisinya rapuh dan hancur berantakan.
Diskriminasi terhadap SARA terus
berlanjut hingga kini tanpa solusi yang efektif yang dapat meredam.
Diskriminasi diyakini sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum dan adanya
reaksi berlebihan terhadap suatu agama ataupun kelompok tertentu. Di sisi lain, bisa terjadi juga apabila adanya
andil pemerintah daerah,diawali dengan adanya pernyataan dan keberpihakan pimpinan daerah kepada
kelompok intoleran, lalu dengan dukungan tersebut maka kelompok itu bisa melakukan aksinya secara
leluasa. Ada juga kasus lain
di mana peradilan dan birokrasi pemerintah juga turut ikut serta dalam
diskriminasi tersebut karena pengaruh pemerintah yang intoleran. Sebagai contoh
kasusnya, di daerah Jawa banyak laporan mengenai kelompok Kristen yang sulit
bahkan tidak mendapatkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) untuk rumah ibadah,hal yang sama
juga dialami oleh banyak kelompok Kristen di Luar Jawa.
Di Indonesia, diskriminasi karena agama
melebihi diskriminasi terhadap etnis, ras atau kelompok minoritas. Fajar
Nursahid dari Project ManagerUnited Nation Development Programme (UNDP)
menyampaikan “Orang lebih sensitif jika diganggu soal keyakinan dan agamanya,ini bisa menjadi pengungkit kekerasan yang luar
biasa,”. Dia menyayangkan tindakan diskriminasi tersebut sebagai cara untuk
“membuktikan ketaatannya”. “Seharusnya agama kan bisa mengerem
kekerasan, menjauhi tindakan tidak berperikemanusiaan,agama seharusnya memberikan jalan yang damai bukan
jalan keluar kebablasan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute,
Eko Cahyono, mengemukakan bahwa diskriminasi menjadi semakin kronis dan tak
terselesaikan karena keterlibatan TNI/Polri dan korporasi di setiap kasus yang
terjadi. Menurutnya, aparat membuat masyarakat semakin terintimidasi dan
membantu korporasi demi mempercepat proses penyelesaian konflik. Keterlibatan
korporasi dalam konflik minoritas tidak jauh dari perebutan dan penguasaan
sumber daya alam dan tata guna lahan. Adanya aparat yang membantu korporasi
membuat masyarakat minoritas terancam terusir dari tanahnya sendiri. Contoh
kasusnya adalah perebutan wilayah kapur antara masyarakat suku Samin dengan PT Semen Indonesia di Rembang.
Ada pula mengenai masyarakat Sunda
Wiwitan yang terusir dari tanahnya sendiri setelah berkonflik dengan pihak
yang berwenang.
Sebenarnya, media massa memiliki peran
yang efektif dalam mengurangi konflik diskriminasi di masyarakat. Hanya dengan
sedikit berita mengenai pentingnya toleransi dalam kebersamaan dan menghargai
hak minoritas, itu lebih dari cukup. Hanya saja, media massa kini hanya sebatas
pengamat dengan memberikan berita awal
peristiwa. Walaupun di sisi lain negara
sering mengabaikan hak-hak kaum minoritas. Padahal media massa sebagai konsumsi
public memiliki legitimasi
untuk menuntut pertanggungjawaban atas kelalaian negara. Selain itu, media
massa kini sudah berada di tangan korporasi yang semakin membuat konflik tidak
menemukan titik terangnya. Korporasi juga terlibat dalam membuat kaum minoritas
terintimidasi. Menurut Ketua AJI Suwarjono bahwa tidak hanya cukup menjadi penulis
independen tetapi juga memiliki sikap yang kredibel. “Tantangan media saat ini
berbenturan antara kondisi lapangan dan di ruang redaksi yang lebih
memperhatikan klik atau ratting tapi tanpa solusi,” ujarnya.
Diskriminasi
menjadi konflik horizontal utama di Indonesia yang terus terabaikan dengan atas
nama ketaatan atau hak lebih sebagai mayoritas lalu menindas minoritas. Tanpa
persatuan, kira tidak bisa mencapai cita-cita yang sudah tercipta sejak
Indonesia merdeka. Cita-cita itu tertera pada Pancasila yang menjadi dasar
negara kita. Tanpa persatuan berarti kita sendiri yang merapuhkan sendi-sendi
kebangsaan kita. Tanpa toleransi, kita tidak bisa menjaga utuhnya konstitusi
yang menjadi dasar hidup bernegara. Menghargai
sesama adalah identitas kita sebagai masyarakat Indonesia, tanpanya, kita hanyalah seonggok daging yang berjalan
tanpa nama.
Penulis : Rafi Anwar Setiadji
Komentar
Posting Komentar